Di dunia ini, wanita mana yang tak merindukan kata “pernikahan”,
seremoni sakral nan suci, sekali seumur hidup. Begitu pula wanitaku,
Mutia. Di suatu senja, ia datang membawa kabar yang membuat seluruh
sendi tubuhku gemetar. Sebuah berita yang membuat aliran darah dalam
aorta meronta-ronta. Kepalaku serasa mendidih. Hatiku merintih, ngilu
meredih perih.
“Menikah? Haruskah secepat ini, Mut?”
Wanita berparas rembulan itu mengangguk. Namun ada sesuatu yang berbeda pada binar matanya. Tatapannya menyiratkan keraguan yang begitu mendalam.
“Kau yakin, Mut? Jangan kaunodai kebahagianmu di masa depan dengan keterpaksaan.”
Sejenak hening.
“Surgaku yang meminta, Mas?”
“Surga?”
“Ibu.”
***
Tibalah hari itu. Mutia tampak anggun mengenakan gaun pengantin berwarna jingga –warna kesukaannya. Wajahnya begitu cemerlang.
“Sah?”
“Sah! sah! sah!” Gemuruh suara para saksi memecah ketegangan. Janji sehidup semati tuntas diikrarkan.
Mutia tersenyum. Aku pun tersenyum. Bedanya, Mutia tersenyum sembari mencium tangan lelaki yang kini resmi menjadi suaminya. Sedangkan aku tersenyum menyaksikan kebahagian mereka berdua dari kejauhan.
Kusadari, setiap ibu pasti menginginkan pendamping terbaik bagi putrinya. Lelaki itu mapan –bos usaha properti. Sedangkan aku hanyalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang masih berjuang menyelesaikan studi.
Kadang, cinta itu memang tak harus memiliki. Kadang, keagungan cinta justru terlihat lebih terang saat kita ikhlas melepaskan. Kadang, begitulah cinta!
Wanita berparas rembulan itu mengangguk. Namun ada sesuatu yang berbeda pada binar matanya. Tatapannya menyiratkan keraguan yang begitu mendalam.
“Kau yakin, Mut? Jangan kaunodai kebahagianmu di masa depan dengan keterpaksaan.”
Sejenak hening.
“Surgaku yang meminta, Mas?”
“Surga?”
“Ibu.”
***
Tibalah hari itu. Mutia tampak anggun mengenakan gaun pengantin berwarna jingga –warna kesukaannya. Wajahnya begitu cemerlang.
“Sah?”
“Sah! sah! sah!” Gemuruh suara para saksi memecah ketegangan. Janji sehidup semati tuntas diikrarkan.
Mutia tersenyum. Aku pun tersenyum. Bedanya, Mutia tersenyum sembari mencium tangan lelaki yang kini resmi menjadi suaminya. Sedangkan aku tersenyum menyaksikan kebahagian mereka berdua dari kejauhan.
Kusadari, setiap ibu pasti menginginkan pendamping terbaik bagi putrinya. Lelaki itu mapan –bos usaha properti. Sedangkan aku hanyalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang masih berjuang menyelesaikan studi.
Kadang, cinta itu memang tak harus memiliki. Kadang, keagungan cinta justru terlihat lebih terang saat kita ikhlas melepaskan. Kadang, begitulah cinta!
0 Komentar untuk "IBU"
Bagaimana Pendapatmu? Silahkan isi komentarmu. Terimakasih